Bencana alam dialami akibat perencanaan pembangunan yang salah. Seharusnya, perencanaan pembangunan selalu memerhatikan risiko bencana. Ini disampaikan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Dr Syamsul Maarif Msi dalam Seminar Nasioanl Penanganan Risiko Bencana dalam Pembangunn Daerah di Universitas Negeri Jember, Kamis (4/6).
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah. Dikatakan Syamsul, pemerintah juga telah mengeluarkan regulasi terkait komitmen penanganan risiko bencana. Yakni UU No.24/2007 Tentang Penanggulangan Bencana, UU No26/2007 Tentang Tata Ruang, serta UU No.27/2007 tentang Pengolahan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.
Namun, pelaksanaan UU tersebut tergantung pada pemerintah, penegak hukum, universitas dan media. Selanjutnya, UU tersebut bisa dijadikan rujukan pembentukan perda yang kebijakannya disesuaikan dengan daerah masing-masing. Sementara BNPB dalam hal ini bertindak sebagai koordinasi dan sosialisasi.
Menurutnya, saat ini Indonesia sebagai salah satu dari 168 negara yang menyepakati pelaksanaan Kerangka Aksi Hyogo. Ini merupakan komitmen untuk mengurangi risiko bencana atau yang dikenal dengan Hyogo Frame Work For Action (HFA) 2005-2015.
“Ini dilakukan karena bencana perlu persiapan penanggulangan, untuk meminimalisasi korban jiwa dan harta. Salah satu caranya yakni penegakan hukum,” ujarnya.
Sementara ada daerah-daerah yang pro aktif dalam penanggulangan bencana antara lain, Jatim, Jateng, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Bengkulu, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Terkait dengan antisipasinya, kata Syamsul, untuk bencana hidrometeorologi atau bencana akibat perubahan iklim global dan efek rumah kaca, pemerintah membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (BNPI). Dewan ini bertugas merumuskan kebijakan naisonal, strategi, program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim.
Mereka juga bertugas mengkoordinasi kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi, kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan pendanaan. Dengan demikian, diharapkan bila terjadi bencana tidak ada pihak yang saling menyalahkan, terutama antara masyarakat dan pemerintah.
Selama ini, dia menambahkan, setiap ada bencana pemerintah selalu mengambil langkah kontigensi atau kesiapasiagaan bila terjadi bencana alam. Dalam hal ini adalah Dinas Kehutanan, Menteri Llingkungan Hidup, Polri dan Perkebunan. Contoh langkah kontigensi itu antara lain, mengubah cara bertanam masyarakat Kalimantan dan Sumatera yang mempunyai budaya bertanam keliling dengan membabat hutan.
Sementara itu, Wakil Gubernur Jatim, Syaifullah Yusuf seusai membuka seminar menuturkan, Indonesia merupakan supermarket bencana. Ini terjadi sebagian besar juga akibat kondisi alamnya.
Kerugian akibat bencana alam di Indonesia dari tahun 2004-2008 mencapai Rp 24,6 triliun. Kerugian terbesar yakni bencana Tsunami Aceh, Nias yang menelan kerugian Rp 48 triliun. Sementara gempa Yogjakarta mengakibatkan kerugian Rp 29,1 triliun. Untuk tsunami di Pangandaran juga mengakibatkan kerugian Rp, 1,3 triliun, Banjir Jakarta Rp 5,2 triliun serta banjir Bengawan Solo Rp 1 triliun. (0by/sti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar